Sabtu, 30 Juli 2011

Korupsi Adalah Masalah Presepsi?

Sepertinya susah untuk memberantas korupsi di negeri ini. Dengan beragam peraturan yang ada sepertinya tidak mampu untuk membendung semangat korupsi yang begitu berapi-api. Ditambah lagi rakyat Indonesia merupakan rakyat yang beragama. Lalu dimana salahnya?

Beberapa waktu yang lalu saya memperpanjang masa berlaku SIM. Saya membayar dengan tarif normal. Kemudian yang terjadi adalah SIM saya baru selesai sore hari beberapa saat sebelum tutup.Keesokan harinya saya bercerita pada rekan sejawat saya bagaimana kepolisian mendahulukan memproses membuat SIM dengan biaya ekstra sehingga SIM tarif normal terbengkalai walaupun terlebih dahulu berkasnya masuk. Rekan saya hanya menjawab dengan ringan "Polisi itu tidak salah, dia kan menjual jasa untuk mempercepat pembuatan SIM!." 

Saya dan rekan saya saja sudah memiliki presepsi yang berbeda mengenai suap menyuap, apalagi kepolisian, pasti juga memiliki presepsi yang berbeda."Bukankah pada peraturan perundangan sudah jelas definisinya? sehingga tidak mungkin ada presepsi yang berbeda mengenai korupsi dan teman-temannya!".

Berapa banyak aparat, pegawai negeri dan masyarakat yang sempat membaca udang-undangnya? Ditambah lagi di dalam penegakkan hukum di Indonesia, jika niatnya membenarkan yang salah, maka setiap pasal yang ada di udang-undang pun bisa dipresepsikan berbeda.

Sesungguhnya konsep iman dalam setiap agama sudah sangat sempurna untuk diimplementasikan, tinggal peran aparatur negara untuk memberikan contoh dan memberikan presepsi yang sama mengenai korupsi dan teman-temannya. Tentunya presepsi-presepsi ini harus diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti, sosialisasinya terus menerus dilakukan dan  dimulai dari bangku sekolah hingga pejabat tinggi negara. Pekerjaan besarkah?

Namun betoelkah masalahnya adalah presepsi?

Jumat, 25 Maret 2011

Pemerintah Peduli Lingkungan?


Sebelum kotamadya Tangerang Selatan memisahkan diri dari kabupaten Tangerang, sampah bukanlah masalah bagi masyarakat. Namun setelah memisahkan diri, sampah adalah masalah utama. Berbagai program dilontarkan oleh pemerintahan, namun tetap saja masalah sampah tidak bisa diatasi. Sampai akhirnya saya kebingungan mencari tempat untuk membuang sampah. Karena pekarangan rumah saya sangat sempit, dengan terpaksa saya membuang sampah dimana saja,di pinggir jalan, di  lahan kosong entah milik siapa, dengan perasaan was-was dan malu jika ditegur orang.


Di pinggir jalan raya Serpong Lama, tepatnya sebelum Kantor Pos hingga sebelum Kantor Kecamatan Serpong, jika menuju ke arah Bumi Serpong Damai, sebelumnya sangat nyaman. Pagar bambu hidup yang banyak tumbuh memberikan hawa segar dan suasana sejuk. Namun semenjak tangsel berdiri, suasana itu berubah, tumpukan sampah menimbulkan bau busuk.

Jika melihat gambar di atas, anda pasti sangat setuju dengan saya. Apa yang dikerjakan oleh pemerintah dalam menangani sampah? Ditambah lagi, gedung pemerintahan Kantor Kecamatan Serpong, berdiri sangat dekat. Kalau kita tanyakan sekarang ke pemerintah, pasti akan banyak jawaban yang kecendrungannya tidak memuaskan. 

Walikota tangsel sudah dipilih oleh masyarakat tangsel dan sudah ditetapkan oleh KPUD kemarin. Masalah sampah ini bisa kita jadikan tolak ukur untuk menilai apakah masyarakat tangsel sudah tepat memilih pemimpinnya? Dan apa betoel pemimpin yang dipilih melalui mekanisme pemilu peduli dengan rakyat? Peduli dengan lingkungan?. Saya mengajak anda untuk mengingatkan pemerintah jika pemerintah berbuat salah. Jika pemerintah tetap tidak peduli, saya yakin kita bisa mengurus diri dan lingkungan kita sendiri.

Sabtu, 19 Maret 2011

Keselamatan Rakyat Nomor Satu?


Tiga bulan yang lalu saya melintasi jembatan di Jl. Raya Serpong Lama - Tangerang Selatan, tepatnya setelah SMPN Negeri 1 Serpong dan sebelum Kuburan Keramat Tajug, jika akan menuju BSD. Jembatannya lebar namun ada lubang yang lumayan lebar dan cukup panjang ditengah-tengah jembatan, ditambah lagi sekitarnya gelap karena lampu penerangan jalannya mati. Terbayang saat itu jika ada sepeda motor yang melintas dan salah satu rodanya terperosok ke lubang tersebut, bisa dipastikan akan langsung terjatuh dan mungkin pengendaranya akan mengalami luka yang cukup berat, bahkan kehilangan nyawa.



Jika anda melihat foto di atas yang saya ambil tadi pagi, berapa kira-kira biaya perbaikannya menurut anda? Yang jelas tak sebanyak biaya penyelenggaraan pilkada maupun pilkada ulang. Lalu berapa waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan itu?. Bandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pilkada ulang di Tangerang Selatan. Dari pilkada hingga pilkada ulang butuh waktu kurang lebih tiga bulan. Rumit manakah antara perbaikan jalan dan penyelenggaraan pilkada ulang?. Pertanyaan selanjutnya, “kok bisa yang lebih rumit dan banyak memakan biaya bisa lebih cepat selesainya?”.

“Jalan tersebut meskipun ada di wilayah Tangerang Selatan, merupakan jalan provinsi. Provinsi yang bertanggung jawab dan berwenang untuk memperbaikinya, kami sudah melakukan koordinasi dengan pihak provinsi”. Begitulah jawaban para pejabat dan pemimpin yang saya, juga mungkin anda sudah hapal betul. Jawaban yang kurang memuaskan, cenderung cuci tangan dan lembar tanggung jawab serta tidak ingin disalahkan.

Sekali lagi kita melihat bahwa rakyat tidak ada harganya bagi pemerintah, sampai-sampai nyawa rakyat yang terancam dibiarkan begitu saja. Apa betoel keselamatan rakyat nomor satu?.

Senin, 21 Februari 2011

Pemerintah Memperhatikan Rakyat?

Pagi tadi hanya gelengan kepala saja yang saya bisa lakukan. Betapa tidak!!, kereta api ekonomi diesel (KRD) jurusan Rangkas Bitung - Pasar Senen yang biasa saya gunakan untuk berangkat kerja ke Jakarta sangat penuh sesak. Para penumpang menggumam berkeluh kesah satu sama lain. Berbagai pertanyaan dan pernyataan keluar dari mulut para penumpang setia KRD itu. 

"Gak bener nih PT. KAI mengeluarkan kebijakan seperti ini, masak untuk mencegah terjadi korban kecelakaan akibat tabrakan kereta diantisipasi dengan mengosongkan gerbong paling depan dan paling belakang. Dengan jumlah gerbong normal saja sudah penuh sesak, apalagi dikosongkan dua!!", celetuk salah seorang penumpang dengan nada kesal dengan pakaian yang sudah setengah basah karena keringat deras yang mengucur akibat hawa panas dan sumpek di dalam gerbong kereta. 

Rupanya itu penyebabnya, sambil kuamati wajah penumpang yang baru saja berbicara tadi. Saya yakin penumpang itu berasal dari Rangkas Bitung. Pantas saja bajunya basah oleh keringat, karena kurang lebih satu setengah jam waktu yang ditempu dari Stasiun Rangkas hingga Stasiun Serpong. Tidak ada yang bisa saya lakukan selain menikmati kesesakan ini diiringi dengan kucuran keringat yang mulai mengalir.

Di dalam gerbong ada tulisan bahwa kapasitas angkut gerbong ini adalah 106 penumpang, namun kira-kira jumlah penumpang hari ini mungkin bisa mencapai 250 atau mungkim 300 penumpang. "Apakah jumlah sebanyak itu dalam satu gerbong diperbolehkan dari segi keselamatan?", gumamku dalam hati, sembari menyeka keringat di wajahku yang juga deras mengalir.
 
Sebentar lagi sampai stasiun Kebayoran, setelah Stasiun Sudimara, Jurang Mangu dan Pondok Ranji dilewati. Di Kebayoran, hampir 1/2 dari jumlah seluruh penumpang turun, sehingga kondisi gerbong sudah tidak sangat sesak. Dan saya pun akhirnya turun di Stasiun Palmerah, melanjutkan dengan berjalan kaki bersama banyak penumpang KRD yang lain menuju ke tempat kerja.

Total gerbong KRD ada 11, dua dikosongkan, pantas saja sangat penuh sesak. "Apakah betoel pemerintah memperhatikan rakyat?". Harusnya pemerintah memberikan pelayanan transpotasi yang baik bagi para penumpang kereta api, karena mereka ini adalah pahlawan lingkungan. Mereka tidak menyumbangkan polusi udara setiap kali berangkat dan pulang bekerja.